Wednesday, 1 November 2017

Tugu Pal Putih Jogja Simbol Persatuan Rakyat dengan Raja

Tugu Jogja disebut juga “Tugu Pal Putih” karena orang Belanda menyebutnya dengan istilah “de wit paal” yang berarti tiang putih. Tugu dibangun bersamaan dengan berdirinya Keraton Yogyakarta, tepatnya sekitar tahun 1756. Namun demikian, bentuknya saat ini berbeda dengan pada saat awal dibangun. Bentuk awal bangunan ini berupa silinder (golong) dengan puncak berupa bulatan (gilig). DEngan demikian dikenal dengan sebutan Tugu Golong Gilig yang tingginya mencapai 25 meter.


Golong Gilig sendiri memiliki makna semangat persatuan antara rakyat dengan raja. Juga sebagai simbol Manunggaling Kawula Gusti atau bersatunya rakyat dengan penguasa. Bisa juga dimaknai sebagai menyatunya manusia dengan kehendak Sang Pencipta. Dalam konsep yang lain, Tugu juga merupakan bagian dari garis filosofi “Sangkan Paraning Dumadi”. Garis yang membentang dari Tugu ke keraton melambangkan proses kembalinya manusia kepada Sang Pencipta (Paran).


Pada masa lalu, bulatan (gilig) pada puncak tugu digunakan sebagai titik pandang ketika Sultan siniwoko (meditasi) di Bangsal Manguntur Tangkil di Siti Hinggil Lor, bagian muka keraton yang tanahnya ditinggikan. Dikarenakan tingginya pula, tugu golong gilig menjadi penanda bagi orang-orang yang akan berkunjung ke wilayah pusat Kesultanan Yogyakarta (kuthagara).



Tugu Jogja (the Monument of Jogja) is also known as “Tugu Pal Putih” because the Dutch called it ‘de wit paal’ which means ‘the white pillar.’ Tugu Jogja was built at the same time around Keraton Yogyakarta was also built, in 1756. However, its current shape is different to the way it used to when it was firstly built. The earlier shape of this building is cylindrical (golong) with a round top (gilig). That is why it is also called Tugu Golong Gilig which is 25-meter high.


Golong Gilig holds the meaning of the spirit of unity between the king and the people, as it is the ‘Manunggaling Kawula Gusti’ or the unity between people and the ruler. It can also be interpreted as the unity between human and God’s will. On another concept, Tugu is also a part of the “Sangkan Paraning Djumadi” philosophical line. The line spanning from Tugu to keraton symbolizes the human’s process of returning to God (Paran).


In the past, the round top (gilig) of Tugu was used as the point of view when the Sultan meditated (siniwoko) at the Bangsal Manguntur Tangkil at the Siti Hinggil Lor. The front side of keraton which had a lifted-up ground. Due to its height, Tugu Golong Gilig became the land mark for anyone visiting the capital (kuthagara) of Yogyakarta Sultanate.


Photo : Toegoe et Jogja, 1930. BPCB DIY
Source :
KRT Kusumanegara
KRT Widyo Anindito
Lensa Budaya 2: Menguak Fakta, Mengenali Keberagaman. 2014.
Djoko Dwiyanto, dkk. 2014. Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon