Wednesday, 9 August 2017

Ingin Makmur Jangan Jadi Petani

"Koe ojo dadi wong tani (Kalau kamu jangan jadi petani)".
Saya ingat betul kata-kata yang diucapkan bapak untuk saya waktu masih kecil dan beranjak dewasa. Kalimat singkat yang lahir dari panas, perih, dan pahit kehidupan seorang petani. Tidak ada ceritanya petani hidup makmur. Begitu terjadi harga beras tinggi, para pejabat terkait kontan meeting untuk menekan harga. Jangan sampai harga pengganjal perut itu mahal. Ingat! Bung Karno dan Pak Harto itu lengser gegara rakyat lapar. Jadi, urusan perut itu menentukan berhenti atau terusnya laju kekuasaan.


Namun demikian, nasib petani tak pernah ada harapan untuk menjadi makmur. Berbagai program dari pemerintah hanya sebagai hiasan dan rayuan agar senantiasa mendukung kebijakannya. Kenyataanya, saat musim panen tiba, pemerintah tidak mampu mempertahankan nasib hasil para petani. Saat musim tanam tiba, pemerintah tidak siap mengantisipasi kelangkaan pupuk. Saat musim kemarau, air yang dulu segar mengalir, tak mampu mengairi tanaman.

Bantuan dana yang dijanjikan, hanya bisa dinikmati segelintir orang yang mempunyai kewibawaan di mata pemerintah. Subsidi pupuk, hanya bisa diakses oleh pemilik kartu yang terdaftar pada kelompok tani di daerah tertentu. Jelas ada mafia di lingkungan petani, namun pemerintah seakan tutup mata hingga terkesan birorasi melindungi.

Eksistensi petani dalam kehidupan kenegaraan pun nyaris tidak ada. Hanya diakui dalam bentuk bualan kosong ketika pemilu atau pilkada. Para petani itu kaum 'nriman', 'nrimo' atau menerima apa adanya. Jadi, meskipun berkali-kali dikadali tetap manggut-manggut saja. Dapat kaos dan abab saja sudah cukup dirasa sebagai anugerah.

Anake wong tani mesti paham...

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon