Wednesday 9 August 2017

Pendidikan Formal Untuk Formalitas Saja

Seingat saya, dulu waktu sekolah dari tingkat dasar (SD) sampai dengan Sarjana (S1) jarang sekali disuruh membeli buku cetak. Bahkan waktu di Sekolah Dasar tidak pernah, yang ada adalah inisiatif orang tua untuk membeli. Itu pun belinya di toko buku. Semua buku cetak diambil dan dipinjam dari perpustakaan sekolah.

Mulai SMP baru ada tawaran untuk membeli buku cetak dalam bentuk Latihan Kerja Siswa (LKS). Namun, tetap saja sda guru yang memperbolehkan siswanya "nglungsur" (mewarisgunakan) buku maupun LKS bekas kakak kelasnya.


Ada yang Mewajibkan Beli Buku Baru.


Di kemudian hari, saya sering mendengar cerita dari para orang tua atau wali murid yang anaknya dimintai untuk membeli buku dalam bentuk diktat. Respon mereka beragam, ada yang biasa saja, ada juga yang bercerita agak mengeluh.

Saya pun tertarik untuk mencari tahu informasi lebih dalam mengenai posedur penjualan buku di lingkungan sekolah ataupun madrasah. Ternyata, ada beberapa metode penjualan buku yang dilakukan di lingkungan sekolah atau madrasah. Ada yang ditangani langsung oleh guru mata pelajaran atau wali kelasnya ada juga yang dikelola melalui manajemen organisasi yang rapi, misalkan koperasi.

Semakin dalam mencari informasi, saya mendapat cerita tentang fee yang didapat guru dari sales penerbit buku. Mungkinkah ini lahan bisnis baru dibidang pendidikan...? Lalu, salahkah ektivitas seperti ini dilakukan di dunia pendidikan...?

Sisi baiknya mungkin merujuk pada nadzom ALALA, bahwa salah satu syarat untuk mendapat ilmu adalah bulghoh (modal) atau yang dikatakan orang Jawa 'jer basuki mawa bea', mungkin termasuk di dalamnya modal beli buku. Tapi bukankah tidak semua siswa di sekolah itu merupakan anak orang yang berada kan?

Dulu kami bisa nglungsur buku karena dari tahun ke tahun isinya sama dan kurikulumnya stabil. Namanya matematika, dari jaman jebod, bahoela, ya 1 + 1 = 2. Apakah bumi sekarang sudah datar kaya makanan khas nusantara, serabi? Masih bulat, kan? Sekarang tiap ganti presiden dan menteri, akan ganti aturan serta kurikulumnya juga ikut berubah. Alasannya yang digunakan pun bermacam-macam, dari mulai tidak up to date, tidakak kontekstual, pembentukan atau penguatan karakter. Namun, faktanya output sekolah sekarang tidak lebih baik dari sekolah dulu. Coba tunjukkan, mana output sekolah sekarang yang sekaliber Pak Habibi. Ndak ada, kan...? Justru kondisinya malah tambah amburadul.

Saya dulu berangkat sekolah terasa ringan karena paling bawa 1 atau 2 buku tulis, potlot (pinsil), pulpen sekedarnya. Sekarang aku kasihan melihat anakku memanggul tas ransel seperti mau latihan militer. Dulu saya SD pulang cepet, dzuhur sudah di rumah, sekarang anakku yang kelas 3 SD jam 2 baru keluar.

Namanya Juga Pendidikan Formal, Berarti untuk Formalitas Saja


Saya pribadi tidak serius menyekolahkan anak. Maksud saya supaya umum menungsa saja, agar anak bersosialisasi, menggali ilmu kehidupan. Kalau ilmu akademik mudah, tinggal tanya Si Mbah (google) 1000% jaminannya dapat ilmu. Saya juga yakin, tidak ada profesor yang lebih pintar dari syekh google.

Saya tidak begitu berharap dengan pendidikan formal di Indonesia. As the term implies, namanya saja formal, nantinya juga untuk formalitas saja. Se-kompeten apapun Anda, kalau tidak punya ijazah formal bin linier, Anda akan bertemu banyak batu karang dalam perkariran Anda.

Jadi, tidak perlu serius jika tujuan Anda menyekolahkan anak demi ketakutan besok mereka tidak bisa makan. Untuk kaya, tidak perlu pinter. Untuk berkarir di sini tidak penting kompeten. Karna di Indonesia yang penting ketentuan formal administratif terpenuhi dan yang maha penting adalah koneksi, bro.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon