Saturday, 22 July 2017

Rebo Pungkasan Galawi

Tags

Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah hari Rabu di minggu terakhir di bulan Safar (dalam bahasa Jawa: Sapar). Masyarakat Jawa percaya bahwa bencana dan mala petaka banyak terjadi pada hari itu. Sehingga mereka perlu melakukan upaya pencegahan agar bencana dan mala petaka ini tidak terjadi pada mereka. Maka pada hari itu masyarakat banyak yang melaksanakan shalat Rebo Wekasan, mandi di sungai, mengunjungi sanak saudara, bahkan membuat serangkaian acara selama seharian yang kemudian ditutup dengan pertunjukkan wayang, dan lain sebagainya.

Rebo Pungkasan Tradisi Nusantara

Setiap daerah memiliki cara dan keunikan masing-masing dalam pada saat Rebo Wekasan ini. Tak terkecuali di Tegal, acara ini pun menjadi sebuah tradisi yang masih dilaksanakan sampai sekarang ini. Masyarakat Tegal banyak yang mempercayai kalau pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar ini, akan banyak bencana dan mala petaka. Sehingga banyak dari mereka, baik itu anak-anak sampai orang dewasa melakukan berbagai upaya untuk terhindar dari bencana dan mala petaka tersebut.

Tradisi yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Tegal dalam menghadapi Rebo Wekasan, yaitu tradisi mencukur beberapa helai rambut dan tradisi membuat bubur merah dan putih, yang kemudian dibagikan ke tetangga mereka.

Tak ada bukti tertulis mengenai tradisi ini. Kapan tradisi mulai dilaksanakan dan siapa yang memulainya belum ada yang mengetahui. Akan tetapi, tradisi ini seakan sudah menjalar dalam masyarakat dan seakan jika tidak dilaksanakan, bencana dan mala petaka akan datang menimpa mereka.

Selain tradisi mencukur rambut dan juga membuat bubur, ada juga tradisi unik lain yang dilaksanakan di Tegal selama Rebo Wekasan. Tradisi itu dilaksanakan di dua kecamatan di Tegal, yaitu di Suradadi dan Lebaksiu. Meskipun pada dasarnya sama, yaitu untuk memperingati Rebo Wekasan, tetapi kegiatan yang dilaksanakan berbeda.

Desa Suradadi, kecamatan Suradadi, kabupaten Tegal, terletak di jalur antara Tegal dan Pemalang, sekitar 17 kilometer timur kota Tegal. Di desa ini, tradisi dalam memperingati Rebo Wekasan dilaksanakan cukup unik. Masyarakat Suradadi pada khususnya, melaksanakan Haul pada saat Rebo Wekasan. Haul diadakan sebagai suatu momentum untuk mengenang kembali para ulama yang telah berjasa dalam menyebarkan agam Islam di daerah tersebut.

Banyak pula yang mengatakan terutama di kalangan ulama, budaya Rebo Wekasan di desa Suradadi yang dilaksanakan dalam bentuk Haul adalah sebuah upaya dari para ulama setempat untuk menjadikan Rebo Wekasan lebih bermakna dan memiliki nilai yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Para ulama di desa Suradadi sangat prihatin dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam momentum Rebo Wekasan ini. Masyarakat banyak yang menyimpang dari agama berkenaan dengan peringatan Rebo Wekasan. Sehingga para ulama ber-ijtihad untuk mengubah itu, yaitu dengan diadakannya Haul.

Haul di desa Suradadi dalam rangka Rebo Wekasan, telah dilaksanakan sejak tahun 1961, tepatnya pada tanggal 13 Agustus (27 Safar 1381 H). Biasanya dilaksanakan di pemakaman umum desa, tepatnya di sebelah selatan Masjid Jami Al-Kautsar atau sebelah selatan Pasar Suradadi. Pada saat Haul, masyarakat Suradadi dan sekitarnya akan berkumpul di pemakaman tersebut dan membacakan doa-doa untuk para ulama yang telah meninggal dunia yang tentunya ulama-ulama itu adalah tokoh-tokoh yang telah berjasa dalam penyebaran agama Islam. Setiap tahun, scara Haul tersebut selalu dipenuhi para pengunjung yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 20.000 pengunjung.

Adapun yang mengikuti acara tersebut tidak hanya masyakarat Suradadi, tetapi juga oleh masyarakat kabupaten dan kota Tegal yang lain, bahkan banyak pula pengunjung yang berasal dari Pemalang, Brebes, Pekalongan, Batang, Purbalingga, dan Purwokerto. Sehingga tak heran, pada saat pelaksanaanya, jalur Pantura tepatnya di jalan Pasar Suradadi, jalan akan sangat macet, yang disebabkan membludaknya pengunjung yang mengikuti Haul tersebut.

Sehingga tidak bisa dipungikiri bahwa tradisi Haul tersebut merupakan media efektif untuk persatuan umat, dakwah Islam, dan tentunya memobilisasi perekonamian umat di Suradadi.

Selain Haul, hal yang unik dalam peringatan Rebo Wekasan di Suradadi adalah adanya pasar dadakan yang ada sebelum, selama dan setelah Rebo Wekasan. Biasanya pasar ini ada setengah atau satu bulan sebelum hari H. Karena adanya pasar ini juga, keadaan di desa Suradadi menjadi sangat ramai yang disebabkan oleh banyaknya para pedagang serta para pengunjung yang mendatangi pasar dadakan tersebut. Sehingga pasar tersebut seakan menjadi arena bazar gratis bagi masyarakat.

Barang yang dijual dalam pasar tersebut berupa segala jenis makanan, mainan anak-anak, pakaian, sepatu, tas, serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Sehingga pasar ini seakan tidak bedanya dari pasar malam yang mengundang keramaian. Pedagang pun datang dari berbagai kota. Karena terdapat sebuah kepercayaan bahwa setelah berdagang pada acara Rebo Wekasan, dagangan mereka akan bertambah laris pada hari berikutnya. Ini menjadi sebuah tradisi budaya yang selalu ditunggu oleh masyarakat Suradadi, karena dapat dilihat dari betapa eksisnya tradisi ini hingga saat ini.

Berbeda di Suradadi, berbeda pula peringatan Rebo Wekasan di Lebaksiu. Lebaksiu adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Tegal, yang terletak di jalur Tegal-Guci. Konon, berdasarkan cerita yang telah menyebar di masyarakat Lebaksiu bahwa peringatan Rebo Wekasan ini adalah untuk mengenang jejak Mbah Panggung, tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut.

Akan tetapi, tidak ada sumber yang menyebutkan dengan jelas tentang sejarah dari peringatan Rebo Wekasan di Lebaksiu. Sehingga cerita Mbah Panggun-lah yang dianggap paling benar. Makam Mbah Panggung berada di puncak Bukit Sitanjung, dimana bukit ini terletak diantara dataran-dataran tinggi yang ada di Lebaksiu. Oleh karena itu, pusat acara Rebo Wekasan di Lebaksiu berada disekitar bukit tersebut, bahkan mencapai pinggir-pinggir jalan raya.

Jika di Suradadi Rebo Wekasan ini lebih dominan dengan acara agama dalam hal ini Haul, Rebo Wekasan di Lebaksiu didominasi dengan kegiatan jual-beli para pedagang yang hanya ada selama Rebo Wekasan. Biasanya para pedagang ini sudah membuka lapaknya setengah bulan sebelum hari H, sampai seminggu setelah hari H. Lapak yang ada pun bisa mencapai kiloan meter dari Bukit Sitanjung. Mulai dari makanan, baju, sepatu, tas, mainan anak-anak, aksesoris, lengkap ada di situ. Tidak hanya pedagangnya yang jumlahnya tak terhitung, pengunjung yang datang pun jumlahnya membludak.

Ribuan orang datang hanya sekedar untuk berkeliling untuk melihat-lihat dagangan, atau jalan-jalan menaiki bukit untuk menikmati pemandangan Bukit Sitanjung. Meskipun ada juga yang sengaja datang untuk berziarah ke makam Mbah Panggung.

Di masyarakat Lebaksiu, ada sebuah mitos tentang Rebo Wekasan. Setiap tahun, tepatnya ketika Rebo Wekasan, pasti akan ada pengunjung yang meninggal, karena dijadikan tumbal.

Terlepas benar apa tidak, tetapi memang ketika Rebo Wekasan, ada saja pengunjung yang meninggal. Ada yang hanyut di sungai, ada yang terjatuh, ada yang hilang, dan lain-lain. Meskipun begitu, Rebo Wekasan tetap menjadi sebuah event yang ditunggu oleh masyarakat Lebaksiu.

Daya tarik utama dari peringatan Rebo Wekasan ini adalah para pedagang yang datang dari berbagai kota yang membuka lapaknya di sekitar Bukit Sitanjung. Sehingga dapat dilihat, betapa cepatnya mobilasasi ekonomi masyarakat Lebaksiu pada saat peringatan Rebo Wekasan. Itu adalah salah satu tradisi yang ada di kabupaten Tegal yang berkenaan dengan Rebo Wekasan.

Artikel Terkait

2 komentar


EmoticonEmoticon