Ditulis oleh Fissilmi Hamida (@fissimihamida)
Ini kisahku, ketika bercakap-cakap dengan seorang lelaki atheis saat kami tengah memasak bersama di suatu pagi buta sebelum Subuh tiba, tepat saat hari Idul Adha. Sebuah percakapan tentang apa definisi “good husband” menurut dirinya, sebuah pemikiran dari seorang atheis yang membuatku tak bisa berkata apa-apa.
Kita bisa memetik pelajaran dari siapa saja, kan?
Saat itu adalah hari Idul Adha. Samar Samar kudengar suara seseorang sedang memasak di dapur yang terletak di ujung. Meski kamarku berada di ujung yang lain, tetap saja aku bisa mendengar saat piring bersentuhan dengan piring yang lain sehingga menghasilkan bunyi ‘cring‘.
Saat itu masih pukul 4.30 pagi. Masih jauh dari Subuh karena masa itu, Subuh disini hampir pukul 6 pagi. Tapi sudah ada yang sibuk di dapur? Penasaran, aku segera menuju kesana. Hmmmmm… penasaran hanya bumbu saja, karena aku juga memang akan ke dapur untuk memasak. Tentu saja aku harus memasak pagi-pagi sebab aku tidak ingin terlambat sholat Eid yang baru akan pertama kali aku lakukan di negeri Ratu Elizabeth ini.
“Hi, morning,” sapa lelaki asal Tiongkok bertubuh kekar itu sembari jemarinya sigap memotong kentang.
“Morning,” jawabku sambil meraih pintu kulkas.
“Where is your wife?” tanyaku.
Lelaki itu adalah flatmate ku. Kami tinggal di flat yang sama, di Chantry Court 407 lantai 4, tapi beda kamar. Ia tinggal sekamar dengan istrinya. Untuk beberapa minggu, ia memang menemani istrinya disini sebelum kembali bertugas di Dubai.
“She is still sleeping,” (dia masih tidur), jawabnya. Kentang yang tadi dipotongnya, sekarang sudah berpindah ke atas wajan.
“Why doesn’t she cook for you?” (Kenapa dia nggak masak buat kamu? tanyaku.
Jujur, aku penasaran. Karena aku belum melihat istrinya ke dapur untuk memasak. Sesekali memang istrinya menemani di dapur. Tapi hanya duduk menemani, bukan untuk memasak.
“She can’t cook. So, it’s my responsibility as her husband to serve her,” (dia tidak bisa memasak. Jadi, tanggung jawabku sebagai suaminya untuk melayaninya), jawabnya, membuatku sedikit tersentak.
Karena istrinya tidak bisa memasak, lelaki itu menganggap bahwa dia sebagai suami yang harus bertanggung jawab melayani istrinya. Jawaban yang menarik dari seorang atheis. Aku jadi tertarik melanjutkan perbincangan dengannya, melupakan sayuranku yang baru separuh aku potong.
“Wow, nice,” ucapku. “So, you don’t think that a wife must be able to cook?” (jadi menurutmu, seorang istri nggak wajib untuk bisa masak?, sambungku lagi.
Lagi-lagi ia tersenyum. Ia memang murah senyum. Setelah memasukkan daging ke dalam wajan, ia berbalik arah menghadapku.
“Yeah, I never think that way. Who says that a wife must be able to cook?” (Memangnya siapa yang mewajibkan seorang istri harus bisa memasak?) Ia berbalik arah, menambahkan air pada masakannya.
“But many people think that way, declaring that cooking is wife’s responsibility. What do you think.” (tapi banyak yang kekeuh kalau memasak itu ya tugas istri.) kataku.
“Yeah, they do, but I don’t.” (Aku nggak berpikir kayak mereka). Ia memberikan sedikit merica bubuk pada masakannya.
“In my marriage principal, there is no exact separation of duty like a wife must do bla bla bla and a husband must do bla bla bla. It’s more about helping each other, sharing the duty together,“ (Dalam prinsip pernikahanku, nggak ada pembagian pasti tentang istri harus begini, suami harus begitu. Menikah itu menurutku tentang bagaimana kita saling membantu dan saling memikul tanggung jawab bersama). jawabnya, kembali membuatku tersenyum.
Interesting!
“Can’t agree more about that. But too bad that many people are still standing on that old belief,” (Setuju. Sayangnya, masih saja ada orang yang berpikiran begitu), timpalku.
“Yeah, it happened in my life too. Some people questioned my decision to marry a woman who can’t do housewife jobs. But the ability to do a housewife jobs is not a basic principal for marriage life,” (Aku juga mengalaminya, kok. Banyak yang bertanya-tanya kenapa aku mau menikahi perempuan yang nggak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Tapi, kemampuan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga bukanlah prinsip dasar sebuah pernikahan), katanya.
“And, I marry her the way she is. Not because she can do something.” (Dan aku menikahinya karena apa adanya dia, bukan karena dia bisa atau tidak bisa melakukan sesuatu). Lagi-lagi aku tidak bisa bilang untuk tidak setuju.
“Absolutely,” kataku sambil melanjutkan pekerjaanku : memotong-motong sayuran.
“Furthermore, she is here to study. So, how can I demand her to serve me?” (Apalagi dia disini untuk kuliah. Bagaimana mungkin aku tega menuntutnya untuk melayaniku?) Ia mengecilkan kompor.
Ya Tuhan. Bikin baper nggak, sih? Benar-benar suami yang baik.
“So, you don’t mind anything about this?” (Jadi kamu sama sekali nggak masalah dengan semua ini?) Sekadar memastikan. Siapa tahu lelaki itu pernah berada pada satu titik dimana ia merasa keberatan dengan kehidupan pernikahan yang dijalaninya.
“I don’t mind anything. This is one of my way to love her,” (Sama sekali nggak masalah. Ini justru salah satu caraku untuk mencintainya), katanya.
Sumpah. Ini manis sekali!
“She is lucky to have you,” (Dia beruntung memilikimu), kataku. Dia kembali tersenyum.
“And so am I. I am lucky to have her. She can accept all weaknesses I have, so why I shouldn’t accept her weakness too?” (Aku juga beruntung memilikinya. Kalau dia saja bisa menerimaku dengan segala kekuranganku, kenapa aku enggak?
“Anyway, you are Muslim, aren’t you? “ (ngomong ngomong, kamu muslim, kan?) tanyanya, memecahkan lamunanku yang tetiba teringat akan suamiku tercinta.
“Yes, I am. Why?” tanyaku.
“Is it okay for you to cook with me? I heard that Muslims are forbidden to eat pork but now I am cooking pork,” (Kamu nggak papa masak bareng aku? Setahuku muslim nggak boleh makan babi, dan ini aku masak babi). katanya. Rupanya daging yang dimasaknya adalah daging babi.
“It’s okay. As long as we dont cook in the same pan and we don’t wash it with the same sponge, it’s okay. No need to worry,” (Nggak apa apa. Selama kita nggak masak pakai wajan yang sama dan cuci piring pakai spons yang sama, nggak masalah), jelasku.
Kami memang memasak di dapur yang sama, tapi lelaki itu sangat mengerti batasan. Ia sama sekali tidak pernah menyentuh peralatan masakku, termasuk juga peralatan makan. Ia juga memakai spons yang berbeda untuk mencuci peralatan dapurnya.
“Hey, I am done. I have to wake her up to have breakfast together,” (Eh, aku udah selesai. Aku mau membangunkan istriku dulu untuk sarapan bersama), katanya, berpamitan untuk membangunkan istrinya untuk mengajaknya sarapan bersama.
❤❤❤
Sungguh, masih lekat dalam ingatan ketika aku begitu meradang melihat banyak lelaki dan para suami di timeline facebook-ku ramai-ramai men-share sebuah meme dengan foto Menteri Susi yang diberi caption:
"YANG ISTRINYA NGGAK BISA MASAK, TENGGELAMKAN!" atau "PUNYA ISTRI NGGAK BISA MASAK? TENGGELAMKAN!
Pernah lihat, kan meme menyebalkan ini?
Duhai, sayang. Andai semua lelaki berpikiran seperti ini, maka meme menyebalkan untuk "menenggelamkan" istri yang tidak bisa memasak itu tidak akan pernah ada.
Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua, agar tak semena-mena "menenggelamkan" istri hanya karena ia tidak bisa memasak atau kurang terampil melakukan pekerjaan rumah tangga, sebab seorang istri tidak diciptakan Tuhan untuk urusan dapur, sumur, dan kasur belaka.
Selain itu,
".... sebab sejatinya, menikah itu tentang bagaimana saling membantu dan saling memikul tanggung jawab bersama."
Dan dari pada saling menenggelamkan, bukankah lebih baik berlayar bersama, saling bahu membahu menjalankan biduk rumah tangga?
❤❤❤
Masa itu, setelah lelaki berpostur tinggi itu kembali ke kamarnya untuk membangunkan istri tercintanya, aku kembali melanjutkan pekerjaanku, sembari membayangkan wajah lelaki tercintaku, dengan segala cinta tak bersyaratnya untukku.
Terimakasih, Tuhan, telah Kau ciptakan dia untukku.
Pertamakali ditulis saat itu,
Di Denmark Street,
25 September 00.30 UK time.
11° C
[picture taken from pinterest]
____________________________________________
Kalian tahu. Selepas suaminya kembali ke Dubai, sang istri berusaha keras untuk mencoba memasak sendiri daripada terus menerus membeli makanan siap saji. "Aku ingin memberi kejutan untuk suamiku saat aku bertemu dengannya lagi nanti," begitu katanya. Aku bercanda meledeknya. Memegang pisau saja ia kaku sekali. "Lihat saja. Aku pasti bisa jadi sehebat chef ternama!". Lalu kami tertawa bersama. Aku tersenyum melihatnya begitu bersemangat memporak-porandakan dapur dengan contekan di sebelahnya, entah dari buku resep, atau contekan dari smartphone-nya. Benar, kami memang sering memasak bersama.
Kami memang dekat dan akrab. Sebab penghuni kamar lainnya di flat kami adalah berjenis kelamin pria. 6 bulan berlalu. Saatnya sosok berambut panjang hitam dan lurus yang tak pernah mau berpakaian pendek saat ada lelaki di dapur itu harus kembali ke negaranya. Aku sedih. Namun aku juga bangga padanya. Ia yang dulu tak pernah menyentuh dapur seumur hidupnya, kini berhasil menaklukkannya, meski mungkin memang belum sehebat beberapa yang lainnya. Tak bisa kubayangkan betapa manisnya saat ia dan suaminya kembali bersua, dan suaminya mendapatinya telah mampu menyajikan masakan lezat yang begitu menggugah selera. Yah... meski aku tak pernah berkesempatan mencicipi masakannya lantaran ia seringkali memasak babi & menggunakan minyak babi di masakannya
status Ummu Utsman Alfalimbaniyah
Ini kisahku, ketika bercakap-cakap dengan seorang lelaki atheis saat kami tengah memasak bersama di suatu pagi buta sebelum Subuh tiba, tepat saat hari Idul Adha. Sebuah percakapan tentang apa definisi “good husband” menurut dirinya, sebuah pemikiran dari seorang atheis yang membuatku tak bisa berkata apa-apa.
Kita bisa memetik pelajaran dari siapa saja, kan?
Saat itu adalah hari Idul Adha. Samar Samar kudengar suara seseorang sedang memasak di dapur yang terletak di ujung. Meski kamarku berada di ujung yang lain, tetap saja aku bisa mendengar saat piring bersentuhan dengan piring yang lain sehingga menghasilkan bunyi ‘cring‘.
Saat itu masih pukul 4.30 pagi. Masih jauh dari Subuh karena masa itu, Subuh disini hampir pukul 6 pagi. Tapi sudah ada yang sibuk di dapur? Penasaran, aku segera menuju kesana. Hmmmmm… penasaran hanya bumbu saja, karena aku juga memang akan ke dapur untuk memasak. Tentu saja aku harus memasak pagi-pagi sebab aku tidak ingin terlambat sholat Eid yang baru akan pertama kali aku lakukan di negeri Ratu Elizabeth ini.
“Hi, morning,” sapa lelaki asal Tiongkok bertubuh kekar itu sembari jemarinya sigap memotong kentang.
“Morning,” jawabku sambil meraih pintu kulkas.
“Where is your wife?” tanyaku.
Lelaki itu adalah flatmate ku. Kami tinggal di flat yang sama, di Chantry Court 407 lantai 4, tapi beda kamar. Ia tinggal sekamar dengan istrinya. Untuk beberapa minggu, ia memang menemani istrinya disini sebelum kembali bertugas di Dubai.
“She is still sleeping,” (dia masih tidur), jawabnya. Kentang yang tadi dipotongnya, sekarang sudah berpindah ke atas wajan.
“Why doesn’t she cook for you?” (Kenapa dia nggak masak buat kamu? tanyaku.
Jujur, aku penasaran. Karena aku belum melihat istrinya ke dapur untuk memasak. Sesekali memang istrinya menemani di dapur. Tapi hanya duduk menemani, bukan untuk memasak.
“She can’t cook. So, it’s my responsibility as her husband to serve her,” (dia tidak bisa memasak. Jadi, tanggung jawabku sebagai suaminya untuk melayaninya), jawabnya, membuatku sedikit tersentak.
Karena istrinya tidak bisa memasak, lelaki itu menganggap bahwa dia sebagai suami yang harus bertanggung jawab melayani istrinya. Jawaban yang menarik dari seorang atheis. Aku jadi tertarik melanjutkan perbincangan dengannya, melupakan sayuranku yang baru separuh aku potong.
“Wow, nice,” ucapku. “So, you don’t think that a wife must be able to cook?” (jadi menurutmu, seorang istri nggak wajib untuk bisa masak?, sambungku lagi.
Lagi-lagi ia tersenyum. Ia memang murah senyum. Setelah memasukkan daging ke dalam wajan, ia berbalik arah menghadapku.
“Yeah, I never think that way. Who says that a wife must be able to cook?” (Memangnya siapa yang mewajibkan seorang istri harus bisa memasak?) Ia berbalik arah, menambahkan air pada masakannya.
“But many people think that way, declaring that cooking is wife’s responsibility. What do you think.” (tapi banyak yang kekeuh kalau memasak itu ya tugas istri.) kataku.
“Yeah, they do, but I don’t.” (Aku nggak berpikir kayak mereka). Ia memberikan sedikit merica bubuk pada masakannya.
“In my marriage principal, there is no exact separation of duty like a wife must do bla bla bla and a husband must do bla bla bla. It’s more about helping each other, sharing the duty together,“ (Dalam prinsip pernikahanku, nggak ada pembagian pasti tentang istri harus begini, suami harus begitu. Menikah itu menurutku tentang bagaimana kita saling membantu dan saling memikul tanggung jawab bersama). jawabnya, kembali membuatku tersenyum.
Interesting!
“Can’t agree more about that. But too bad that many people are still standing on that old belief,” (Setuju. Sayangnya, masih saja ada orang yang berpikiran begitu), timpalku.
“Yeah, it happened in my life too. Some people questioned my decision to marry a woman who can’t do housewife jobs. But the ability to do a housewife jobs is not a basic principal for marriage life,” (Aku juga mengalaminya, kok. Banyak yang bertanya-tanya kenapa aku mau menikahi perempuan yang nggak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Tapi, kemampuan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga bukanlah prinsip dasar sebuah pernikahan), katanya.
“And, I marry her the way she is. Not because she can do something.” (Dan aku menikahinya karena apa adanya dia, bukan karena dia bisa atau tidak bisa melakukan sesuatu). Lagi-lagi aku tidak bisa bilang untuk tidak setuju.
“Absolutely,” kataku sambil melanjutkan pekerjaanku : memotong-motong sayuran.
“Furthermore, she is here to study. So, how can I demand her to serve me?” (Apalagi dia disini untuk kuliah. Bagaimana mungkin aku tega menuntutnya untuk melayaniku?) Ia mengecilkan kompor.
Ya Tuhan. Bikin baper nggak, sih? Benar-benar suami yang baik.
“So, you don’t mind anything about this?” (Jadi kamu sama sekali nggak masalah dengan semua ini?) Sekadar memastikan. Siapa tahu lelaki itu pernah berada pada satu titik dimana ia merasa keberatan dengan kehidupan pernikahan yang dijalaninya.
“I don’t mind anything. This is one of my way to love her,” (Sama sekali nggak masalah. Ini justru salah satu caraku untuk mencintainya), katanya.
Sumpah. Ini manis sekali!
“She is lucky to have you,” (Dia beruntung memilikimu), kataku. Dia kembali tersenyum.
“And so am I. I am lucky to have her. She can accept all weaknesses I have, so why I shouldn’t accept her weakness too?” (Aku juga beruntung memilikinya. Kalau dia saja bisa menerimaku dengan segala kekuranganku, kenapa aku enggak?
“Anyway, you are Muslim, aren’t you? “ (ngomong ngomong, kamu muslim, kan?) tanyanya, memecahkan lamunanku yang tetiba teringat akan suamiku tercinta.
“Yes, I am. Why?” tanyaku.
“Is it okay for you to cook with me? I heard that Muslims are forbidden to eat pork but now I am cooking pork,” (Kamu nggak papa masak bareng aku? Setahuku muslim nggak boleh makan babi, dan ini aku masak babi). katanya. Rupanya daging yang dimasaknya adalah daging babi.
“It’s okay. As long as we dont cook in the same pan and we don’t wash it with the same sponge, it’s okay. No need to worry,” (Nggak apa apa. Selama kita nggak masak pakai wajan yang sama dan cuci piring pakai spons yang sama, nggak masalah), jelasku.
Kami memang memasak di dapur yang sama, tapi lelaki itu sangat mengerti batasan. Ia sama sekali tidak pernah menyentuh peralatan masakku, termasuk juga peralatan makan. Ia juga memakai spons yang berbeda untuk mencuci peralatan dapurnya.
“Hey, I am done. I have to wake her up to have breakfast together,” (Eh, aku udah selesai. Aku mau membangunkan istriku dulu untuk sarapan bersama), katanya, berpamitan untuk membangunkan istrinya untuk mengajaknya sarapan bersama.
❤❤❤
Sungguh, masih lekat dalam ingatan ketika aku begitu meradang melihat banyak lelaki dan para suami di timeline facebook-ku ramai-ramai men-share sebuah meme dengan foto Menteri Susi yang diberi caption:
"YANG ISTRINYA NGGAK BISA MASAK, TENGGELAMKAN!" atau "PUNYA ISTRI NGGAK BISA MASAK? TENGGELAMKAN!
Pernah lihat, kan meme menyebalkan ini?
Duhai, sayang. Andai semua lelaki berpikiran seperti ini, maka meme menyebalkan untuk "menenggelamkan" istri yang tidak bisa memasak itu tidak akan pernah ada.
Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua, agar tak semena-mena "menenggelamkan" istri hanya karena ia tidak bisa memasak atau kurang terampil melakukan pekerjaan rumah tangga, sebab seorang istri tidak diciptakan Tuhan untuk urusan dapur, sumur, dan kasur belaka.
Selain itu,
".... sebab sejatinya, menikah itu tentang bagaimana saling membantu dan saling memikul tanggung jawab bersama."
Dan dari pada saling menenggelamkan, bukankah lebih baik berlayar bersama, saling bahu membahu menjalankan biduk rumah tangga?
❤❤❤
Masa itu, setelah lelaki berpostur tinggi itu kembali ke kamarnya untuk membangunkan istri tercintanya, aku kembali melanjutkan pekerjaanku, sembari membayangkan wajah lelaki tercintaku, dengan segala cinta tak bersyaratnya untukku.
Terimakasih, Tuhan, telah Kau ciptakan dia untukku.
Pertamakali ditulis saat itu,
Di Denmark Street,
25 September 00.30 UK time.
11° C
[picture taken from pinterest]
____________________________________________
Kalian tahu. Selepas suaminya kembali ke Dubai, sang istri berusaha keras untuk mencoba memasak sendiri daripada terus menerus membeli makanan siap saji. "Aku ingin memberi kejutan untuk suamiku saat aku bertemu dengannya lagi nanti," begitu katanya. Aku bercanda meledeknya. Memegang pisau saja ia kaku sekali. "Lihat saja. Aku pasti bisa jadi sehebat chef ternama!". Lalu kami tertawa bersama. Aku tersenyum melihatnya begitu bersemangat memporak-porandakan dapur dengan contekan di sebelahnya, entah dari buku resep, atau contekan dari smartphone-nya. Benar, kami memang sering memasak bersama.
Kami memang dekat dan akrab. Sebab penghuni kamar lainnya di flat kami adalah berjenis kelamin pria. 6 bulan berlalu. Saatnya sosok berambut panjang hitam dan lurus yang tak pernah mau berpakaian pendek saat ada lelaki di dapur itu harus kembali ke negaranya. Aku sedih. Namun aku juga bangga padanya. Ia yang dulu tak pernah menyentuh dapur seumur hidupnya, kini berhasil menaklukkannya, meski mungkin memang belum sehebat beberapa yang lainnya. Tak bisa kubayangkan betapa manisnya saat ia dan suaminya kembali bersua, dan suaminya mendapatinya telah mampu menyajikan masakan lezat yang begitu menggugah selera. Yah... meski aku tak pernah berkesempatan mencicipi masakannya lantaran ia seringkali memasak babi & menggunakan minyak babi di masakannya
status Ummu Utsman Alfalimbaniyah
EmoticonEmoticon